Puasa Cegah Korupsi?
6 September 2008 00:46:14
Oleh: M. Soffa Ihsan
Seorang pegawai di sebuah instansi pemerintah di Jakarta pernah bercerita pada MataAir. Dia sudah puluhan tahun bekerja di jawatan pemerintah yang menangani pembangunan insfrastruktur itu. Gajinya mepet. Anaknya empat. Kini, dia hidup serba lebih.
Rumah mentereng dan mobilpun berderet-deret di garasi rumahnya. Katanya waktu itu,”Kalau tidak korupsi mana bisa hidup di Jakarta yang serba mahal gini. Apalagi, dilakukan secara berjamaah.”
Sekedar tahu, aktor kita ini lahir dari keluarga yang agamis. Shalat tak pernah dia tinggalkan. Puasa Ramadhan pasti dijalaninya secara penuh. Pergi haji sudah dua kali. Dia pun dikenal dermawan.
Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana sih bisa-bisanya begitu? Shalat dan puasa rajin, tapi korupsi jalan terus. Ada gurauan di khalayak umum, kalau sudah begitu, nanti malaikatnya yang bingung saat menghitung amalnya (hisab),he he he.
"Dengan tidak melakukan korupsi selama sebulan, diharapkan akan menumbuhkan kesadaran agar tidak melakukannya pada bulan lain. Berpuasa korupsi harus menjadi tekad semua orang, khususnya yang menjalankan ibadah puasa saat Ramadhan,"kata Anggota BPK, Baharuddin Aritonang tahun lalu.
Puasa secara terminologi, berarti menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami-istri sejak terbit fajar sampai matahari terbenam. Meski perbuatan yang membatalkan puasa lebih banyak aktivitas fisik, tapi harus pula menjauhi perbuatan yang bisa merugikan orang lain.
Ada Hadits,“Banyak di antara umat umat Islam yang tidak mendapati apa-apa (hasil) dari puasanya, kecuali rasa lapar dan haus.” Jadi, hakikat dari puasa, sebagaimana tersirat dalam makna dasar kata “al-shiyam”, adalah pengendalian diri (self control).
Al-Ghazali pernah bercerita tentang sirr, atau rahasia dibalik ritual. Misalnya, puasa bukan sekadar menahan makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perbuatan yang dilarang Allah. Jadi, ada unsur akhlaknya. Al-Ghazali membedakan antara khalq dan khuluq. Khalq adalah gambaran lahir atau tubuh kita, sementara khuluq gambaran batin.
Dalam Ihyâ `Ulumiddin termuat sebuah Hadits. Rasulullah pernah dilapori bahwa ada seorang yang rajin puasa siang dan shalat malam, tapi suka menyakiti tetangga dengan lidahnya. Apa kata Rasulullah? “Hiyâ fin nar” (dia di neraka).
Hablun minallah atau hubungan baik dengan Tuhan itu diukur dari hubungan baik dengan sesama manusia (hablun minan nas). Al-Quran sendiri mengatakan bahwa orang-orang yang membanggakan ritus-ritus agama, tapi tidak ada buktinya dalam kehidupan bermasyarakat-misalnya tetap sombong, suka menindas dan tidak punya empati pada penderitaan orang-mereka, dianggap pendusta agama. Ayatnya,“Tahukah Engkau siapa para pendusta agama? Mereka adalah orang yang tidak peduli pada anak yatim”.
Ah, tapi namanya manusia. Nilai ideal memang perlu ditandaskan. Sekarang, tergantung manusianya. Dan juga, penegakan hukum tanpa tebang pilih.
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Majalah MataAir